-Pengamat : Terdapat Interpretasi untuk Menekan Suara Kritis
KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID – Revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sudah sah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan kedua atas atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang UU ITE itu dinilai para pakar belum memenuhi ekspektasi publik di negeri ini. Sebab, pasal-pasal yang berpotensi membungkam kebebasan berpendapat dan kritik, masih dipertahankan. UU ITE jilid II itu dinilai masih berpotensi membungkam suara-suara kritis terutama yang dialamatkan kepada pemerintah.
Pakar hukum pidana Sultra Dr.Hijriani, S.H., M.H mengatakan, definisi penjelasan UU ITE tampaknya kurang jelas atau rumusan yang terbuka terhadap interpretasi sehingga dapat menimbulkan risiko penyalahgunaan. “Terdapat interpretasi beberapa pasal dalam UU ITE dapat disalahgunakan untuk kepentingan politik dengan menekan suara-suara kritis atau oposisi politik di dunia maya,” ujarnya kepada Kendari Pos, Kamis (18/1/2024).
Bahkan dengan adanya pengaturan yang lebih ketat, menimbulkan kekhawatiran terkait privasi, terutama jika interpretasinya memungkinkan pemantauan atau pengumpulan data yang berlebihan.
“Terhadap kebebasan pers, terdapat kekhawatiran bahwa regulasi yang lebih ketat dapat berdampak negatif pada kebebasan pers. Membatasi wartawan dan media dalam melaksanakan tugasnya untuk memberikan informasi kepada publik,” kata Dr. Hijriani.
Ketua Program Studi Magister Hukum Pascasarjana Universitas Sulawesi Tenggara (Unsultra) itu penerapan UU ITE terdapat permasalahan yakni telah beberapa kali diajukan uji materi (Judicial Review) di Mahkamah Konstitusi terhadap beberapa ketentuan pidana seperti dalam Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2).
Meskipun sebelumnya telah dilakukan perubahan dari UU ITE , perubahan pertama atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE, yaitu UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE yang dianggap masih belum dapat menyelesaikan masalah serta munculnya pemahaman yang berbeda terhadap beberapa pasal sehingga penerapannya dapat dikenakan kepada subjek yang seharusnya tidak menjadi sasaran dari ketentuan tersebut.
“UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE ini makin menyempurnakan norma yang diatur dalam UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE,” tutur Dr. Hijriani.
UU tersebut, kata dia, mengubah beberapa ketentuan dalam UU ITE yang berlaku sebelumnya yang masih menimbulkan multitafsir dan kontroversi di masyarakat.
Beberapa perubahan yang terjadi pada UU ITE adalah yakni penambahan 5 bpasal baru dalam UU ITE Perubahan Kedua, yaitu Pasal 13A, 16A, 16B, 18A, 27A, dan 27B.
Beberapa di antaranya mengatur penggunaan tanda tangan elektronik, identitas digital, kontrak elektronik internasional, perlindungan anak, dan pencemaran nama baik. “Terdapat 14 pasal eksisting yang mengalami perubahan dalam UU ITE Perubahan Kedua. Beberapa di antaranya mengatur tentang pengaturan pidana dan penggunaan tanda tangan elektronik,” jelas Dr.Hijriani.
Ia menjelaskan, peran pemerintah dalam mendorong terciptanya ekosistem digital yang adil, akuntabel, aman, dan inovatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dan 40A, serta kewenangan penyidik PPNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43.
Revisi UU ITE dapat dianggap sebagai langkah untuk meningkatkan efektivitas penegakan hukum dalam menanggapi kejahatan di dunia maya, seperti penyebaran berita palsu atau tindakan penghinaan online. “Pengaturan yang lebih ketat dalam UU ITE dapat dianggap sebagai upaya untuk melindungi keselamatan publik dari potensi ancaman yang muncul dari penyebaran informasi yang dapat memicu kerusuhan atau konflik,” imbuh Dr.Hijriani.
Hanya saja, pandangan masyarakat terhadap UU ITE masih beragam. Beberapa pihak menganggap UU ITE sebagai alat untuk membatasi kebebasan berekspresi. Pendapat publik lainnya bahwa UU ITE hasil revisi jilid II dapat disalahgunakan untuk menekan kritik terhadap pemerintah. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa UU ITE diperlukan untuk melindungi masyarakat dari penyebaran informasi yang tidak benar dan merugikan.
“Ada pandangan bahwa berlakunya revisi UU ITE ini memberikan kewenangan berlebihan kepada pemerintah untuk membatasi kebebasan berbicara dan berekspresi. Terutama pasal-pasalnya diinterpretasikan secara luas, dan ambiguitas dalam formulasi pasal-pasal tertentu dapat menjadi sumber kekhawatiran,” jelas Dr.Hijriani.
Dr. Hijriani menambahkan, masyarakat berharap berlakunya revisi UU ITE terbaru ini dapat diterapkan secara adil dan transparan, serta kepastian hukum dalam penanganan kasus-kasus yang melibatkan UU ITE. “Sehingga tidak ada kekhawatiran berlebihan,” tandasnya. (ali/b)